Abstract:
Sejalan dengan berkembangnya kegiatan pengangkutan di laut maka pemerintah mengatur
kegiatan perusahaan pengangkutan yang ada di laut melalui penerbitan Inpres No. 4 tahun 1985 tentang
kebijakan arus barang untuk menunjang kegiatan ekonomi yang kemudian diperbarui dengan Inpres
No. 3 tahun 1991 tentang kebijakan kelancaran arus barang untuk menunjang kegiatan ekonomi. Di
dalam inpres tersebut antara lain mengatur bahwa untuk mengurangi biaya bongkar muat barang yang
meliputi stevedoring, cargodoring, receiving dan delivery maka sebab itu kegiatan bongkar muat
tersebut harus dilakukan oleh instansi yang diberi wewenang oleh pemerintah yaitu perusahaan
bongkar muat (PBM). Keikutsertaan pengusaha bongkar muat petikemas yang kegiatannya antara lain
stevedoring, cargodoring, receiving dan delivery dapat tidak langsung memajukan perekonomian dan
membangun pelayanan pada masyarakat demi kelancaran dan keamanan lalu lintas barang di
pelabuhan. Kondisi dari pelabuhan khususnya pada PT. Nilam Port Terminal Indonesia sangat terbatas
dikarenakan lapangan penumpukan (CY) kurang memadai, sehingga muatan yang terlalu lama di
stacking di lapangan penumpukan (CY) PT. Nilam Port Terminal Indonesia bisa menghambat
keefektifitasan bongkar muat petikemas. Kendala yang sering peneliti amati dalam proses bongkar
muat adalah kurang efektifnya alat bongkar muat petikemas pada spreader container crane (CC)
dikarenakan seringnya mengalami kerusakan, sehingga sering terjadi ketidaklancaran bongkar muat
petikemas dan kurang memadainya pada lapangan penumpukan (CY) PT. Nilam Port Terminal
Indonesia. Selain itu trafic di sekitar terminal nilam masih belum sempurna dikarenakan banyak
lalulalang kendaraan yang tidak berkepentingan di area tersebut. Dan kinerja TKBM masih belum
maksimal dikarenakan TKBM tersebut bermalas-malasan dalam bekerja. Dari kendala tersebut
kebijakan dari divisi operasional diharapkan dapat membenahi fasilitas pada PT. Nilam Port Terminal
Indonesia dan meningkatkan SDM demi efektifitas bongkar muat petikemas.