dc.description.abstract |
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan landasan
bagi pelaksanaan Pemilu 2019. Keberadaan Undang-Undang ini mempunyai peran
penting dalam mengatur pelaksanaan pemilu, penyelenggaraan pemilu, persyaratan
pemilu, partai politik dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Salah satu
pengaturan yang cukup menimbulkan pro dan kontra adalah kebijakan Parliamentary
Threshold. Kebijakan yang diatur di Pasal 414 ayat (1) dan Pasal 415 ayat (1)
menetapkan angka ambang batasnya 4%, naik lima persen dari peraturan yang
sebelumnya 3,5%. Persoalannya, adanya kebijakan Parliamentary Threshold ini berpadu
dengan pelaksanaan Pemilu Serentak sebagai amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-IX/2013. Pemilu serentak sendiri bertujuan untuk memperkuat sistem
pemerintahan presidensiil agar fungsi eksekutif dan legislatif saling mengimbangi, bukan
pada posisi saling sandera atau menyuburkan politik transaksional. Dari latar belakang
inilah, rumusan masalah yang diangkat adalah: Pertama, apakah penerapan
Parliamentary Threshold merupakan instrumen untuk menyederhanakan partai politik
di era pemilu serentak? Kedua, apakah penyederhanaan partai politik yang diatur dalam
UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sesuai dengan prinsip penyederhanaan
partai politik yang ideal? Melalui metode penelitian yuridis normatif, hasil kajian ini
menyatakan bahwa Penerapan Parliamentary Threshold merupakan salah satu
instrumen untuk menyederhanakan partai politik. Namun, bukan satu-satunya cara,
masih banyak cara lain untuk menyederhanakan partai politik. Namun, dengan
perpaduan pemilu serentak, penyederhanaan partai politik memang lebih mudah
dilaksanakan. Persoalannya, prinsip keterwakilan menjadi berkurang bila perpaduan
antara pemilu serentak dengan Parliamantery Threshold terus dilakukan. |
en_US |